Senin, 14 Maret 2016

Pelanggaranhamberat


Sejarah Kelam Tragedi TrisaktiSejarah Tragedi Trisakti 12 Mei 199812 Mei 1998 merupakan salah satu dari beberapa rangkaian kerusuhan yang terjadi di Indonesia mengikuti dilantiknya Soeharto setelah tujuh tahun berturut-turut pada bulan Maret di tahun yang sama. Yang membuat rakyat marah kemungkinan adalah karena Soeharto berseru tentang reformasi politik dan ekonomi, tapi pada kenyataannya Kabinet Pembangunan VII – kabinet buatan Soeharto pada saat itu berisi anggota keluarga dan kroni-kroni Soeharto, termasuk anak didiknya, Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presidennya.Sebelum terjadi kerusuhan di Jakarta, Medan telah terlebih dahulu menyalakan api kebencian akan pemerintahan Soeharto. Pada awal Mei dimulai, para pelajar sudah mulai menjalankan aksi demonstrasi di kampus-kampus sekitaran Medan selama dua bulan. Jumlah pelajar yang mengikuti aksi demonstrasi ini terus bertambah seiring makin lantangnya panggilan dari masyarakat untuk reformasi total. Hal yang membuat mahasiswa semakin berang adalah tewasnya salah satu mahasiswa pada 27 April yang kesalahannya dilemparkan pada pihak berwajib yang melemparkan gas air mata ke kampus dan mencapai puncak pada tanggal 4 hingga 8 Mei saat pemerintah memutuskan menaikkan harga minyak sebesar 70% dan 300% untuk biaya listrik.Pada tanggal 9 Mei, presiden Soeharto terbang menuju group of 15 summit di Kairo, Mesir. Sebelum berangkat, Soeharto berkata pada masyarakat untuk menghentikan protes mereka dan seperti yang dituliskan di Suara Pembaruan, bahwa ia menyatakan kalau hal ini terus berlanjut, tidak akan ada kemajuan di Indonesia. Soeharto yang awalnya dijadwalkan untuk kembali ke Jakarta pada 14 Mei, pulang lebih cepat saat kerusuhan di Jakarta mencapai titik kritis, sebuah kejadian yang akan mencatat sejarah kelam tragedi Trisakti 12 Mei 1998 di Indonesia.Kericuhan di Jakarta mencapai puncaknya pada tanggal 12 Mei ketika pihak kepolisian dan tentara mulai menembaki mahasiswa-mahasiswa yang melakukan aksi protes damai. Tragedi ini menewaskan 4 orang, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Belasan orang juka terluka sebagai hasil dari tragedi ini. Penembakan protestan tanpa senjata ini menyebabkan kerusuhan yang sebelumnya sudah terjadi menjadi tambah marak di seluruh Indonesia, dan pada akhirnya melengserkan Soeharto dari kursi kepemimpinannya.Kronologi Tragedi TrisaktiProtes yang menjadi kejadian kunci sejarah kelam tragedi Trisakti 12 Mei 1998 dimulai pada pukul 10 siang dan diikuti lebih dari 6000 mahasiswa, staff, dan dosen yang berkumpul di lapangan parkir universitas Trisakti. Hal pertama yang mereka lakukan adalah menurunkan bendera Indonesia menjadi setengah tiang yang menyimbolkan duka atau kesengsaraan. Baru ketika hari mulai siang, para protestan ini bersiap-siap untuk melakukan long march menuju gedung DPR/MPR. Belum jauh dari kampus, mereka dihentikan oleh oleh pihak kepolisian, tepatnya di depan kantor walikota Jakarta Barat. Sebagai respon dari penghentian mereka, para protestan ini kemudian menduduki jalan S. Parman dan menghalangi jalur lalu lintas. Setelah bantuan dari pihak militer datang untuk membantu kepolisian, dekan fakultas hukum, Adi Andojo, berhasil membujuk para demonstran kembali ke kampus. Pada saat itu, pasukan pengamanan yang ada di lokasi adalah Polisi Brimob, KOSTRAD, dan Kodam Jaya. Mereka dipersenjatai dengan perisai huru-hara, gas air mata, Steyr AUG, dan Pindad SS-1.Ketika waktu menunjukkan pukul 5 sore, hampir seluruh demonstran telah kembali ke area kampus Trisakti. Sesaat setelah kembali inilah, cemoohan terdengar dari kumpulan polisi dan tentara, diikuti dengan rentetan tembakan yang menyebabkan para demonstran panik dan tercerai berai. Kekacauan ini memakan dua korban jiwa, yaitu Elang Mulya Lesmana dan Hendriawan Sie yang saat itu sedang berusaha masuk ke ruangan rektorat di gedung Dr. Syarif Thayeb. Korban jiwa kembali jatuh ketika para mahasiswa yang belum mengungsi berkumpul di sebuah ruangan terbuka. Tentara-tentara yang diposisikan di atap gedung terdekat terus menembak, melukai banyak mahasiswa dan mengambil nyawa dari Heri Hartanto dan Hafidin Royan. Penembakan baru berhenti pada pukul 8 malam, dan pihak kampus bergegas membawa mereka yang terluka menuju rumah sakit terdekat.Sejarah tragedi Trisakti 12 Mei 1998 ini seperti disebutkan di atas memakan 4 korban jiwa yang semuanya merupakan mahasiswa dari universitas Trisakti. Keempat mahasiswa ini kemudian oleh Bacharuddin Jusuf Habibi yang naik menggantikan Soeharto sebagai presiden diberi julukan sebagai pahlawan reformasi, karena tewasnya mereka secara tidak langsung mengobarkan api reformasi di hati masyarakat-masyarakat Indonesia yang lainnya. Meski begitu, sebelum presiden Soeharto turun, sempat ada kerusuhan yang jauh lebih besar di Jakarta yang menewaskan 1200 orang tewas yang kebanyakan dikarenakan oleh terjebaknya orang-orang itu di dalam gedung yang dibakar. Pada saat itu, penjarahan terjadi dimana-mana, dan warga Indonesia keturunan Tiongkok menjadi korban penganiayaan dan berbagai tindakan lainnya oleh masyarakat yang menjadi buas.


TRAGEDI SEMANGGI


Tragedi Semanggi *. Serpihan Kronologis         Jum'at, 13 Nopember 1998         Lautan massa demonstran yang bergerak dari jl. Diponegoro disambut hangat masyarakat luas di sepanjang jl. Matraman, bahkan sebagian masyarakat turut bergabung dengan unsur gabungan terbesar ketika barisan demonstran melalui jembatan Jatinegara hingga terminal Kp. Melayu. Demonstran memenuhi seluruh ruas jalan dengan panjang iringan sekitar 3 km, terus berjalan ke arah Cawang namun saat hendak belok ke jl. Gatot Subroto (belok kanan atau dibawah jembatan layang), jalan yang dituju dihadang dua truk militer dan didepannya berdiri siaga puluhan tentara dan polisi.         Saya yang mengendarai sepeda motor bersama Hendrik (ISTN, FORKOT) mencoba membujuk beberapa anggota masyarakat yang berkerumun di tepi-tepi jalan agar sebagian pindah ke sisi kanan untuk mengalihkan sekaligus "membingungkan" aparat keamanan yang berjaga-jaga. Tapi kemudian ada masyarakat yang mengusulkan agar kami belok kiri saja �juga jalan menuju ke jl. Gatot Subroto� karena di jalan itu sama sekali tidak dijaga. Akhirnya kami yang bermotor, yang kebetulan ada dibarisan depan mencoba membuka jalan, namun tak jauh setelah berbelok, sebuah truk militer tergesa-gesa menghadang, tapi karena ia kurang gesit maka hanya mampu menutup setengah badan jalan. Manakala demonstran melewati truk itu, tiba-tiba dihadapan dalam jarak 20-30 meter berlarian puluhan orang dengan ikat kepala berwarna hijau, bersenjata tajam yang diayun-ayun diatas kepala hendak menyerang kami. Spontan masyarakat berteriak-teriak, "awas Panswakarsa�", yang direspon kocar-kacirnya barisan demonstran, seraya meminta bantuan masyarakat untuk melawan Panswakarsa(?) bersama-sama, sehingga terjadilah perang batu antara kami dengan dibantu masyarakat (yang sebelumnya berada di tepi jalan) melawan "pasukan berprofil sipil, berikat kepala hijau". Kami berlari dengan maksud menyelamatkan diri, disaat lari sempat saya lihat ada beberapa anggota masyarakat yang tertinggal, ada yang diinjak-injak, dipukuli senjata tajam oleh Panswakarsa, yang tak berapa lama kemudian diserang balik oleh masyarakat. Masyarakat yang menyerang Panswakarsa dalam waktu cepat semakin banyak, akhirnya para Panswakarsa berlarian kabur sambil melepas ikat kepala, tetapi terus dikejar-kejar, dan dari atas jembatan saya lihat ada beberapa yang tertangkap di seputar tanah kosong (tepi jalan raya Cawang / jl. Dewi Sartika).         Setengah jam kemudian saya datangi sebuah kerumunan masyarakat yang menangkap Panswakarsa, saya lihat di sekujur tubuh dan kepalanya sudah berlepotan darah, saya dekati lalu saya pegang bahunya, saya periksa kantungnya, "tidak ada kartu identitas tapi saya temukan uang Rp 500 di kantung celana (blue jeans) depan", terus saya tanyakan, "asal kamu dari mana�, kerja untuk siapa�?" Ia tidak menjawab bahkan terus memandangi saya. Disela-sela pertanyaan saya ajukan, masyarakat terus saja menggebukinya dengan kayu dan bebatuan. Di lokasi itu diberitahu masyarakat ada empat Panswakarsa ditangkap, semuanya sudah babak-belur, dan selang beberapa menit ketika saya sedang berada di tepi jalan, dua yang ditangkap digelandang ke jalan raya, digeletakkan di tengah jalan dengan jalur berbeda-beda, tapi yang satu (yang sebelumnya saya tanyakan) dalam keadaan telanjang bulat dengan satu mata hampir tercongkel, mulut dan hidung menganga disodok kayu sepanjang 1 meteran.         Setelah kerusuhan di jembatan Cawang mereda, saya dan Hendrik bersama sedikit massa demonstran berbalik arah (sekitar 17.00 wib) menuju jl. Casablanca. Sesampai di sana, massa demonstran sudah membludak memenuhi jalan (satu jalur/sebelah kiri) sedang berjalan menuju jl. Sudirman. Lantas saya bergabung bersama mereka, tapi karena saya naik motor akhirnya tiba lebih dulu di jl. Sudirman dan cukup kaget menyaksikan situasi yang terjadi disana. Puing-puing berserakan tanda bekas kerusuhan baru berlangsung, aroma gas air mata menyengat hidung, hampir seluruh massa yang berada di jalan merupakan anggota masyarakat sedangkan mahasiswa yang berjas almameter didalam kampus Atma Jaya dengan pintu gerbang ditutup. Saya tanya pada beberapa orang mengenai situasi yang baru terjadi, dan diberitahu, "tadi sore sudah ada 4 orang yang ditembak".         Selanjutnya massa dari jl. Casablanca (mahasiswa dan masyarakat) dengan yang di jl. Sudirman menyatu, memenuhi jl. Sudirman hingga sebagian jl. Casablanca. Massa di jl. Sudirman yang tadinya berhadap-hadapan dengan barikade aparat keamanan dalam jarak sekitar 10 meter, perlahan dalam waktu satu jam tinggal berjarak 1 meter. Suasana berkali-kali memanas, disana-sini terdengar orasi massa demonstran dan ketika massa yang berada di barisan depan cukup tenang, tiba-tiba dari himpunan masyarakat (2 - 5 saf dari barisan depan) terlontar sebuah batu ke arah barikade aparat keamanan. Adanya lontaran batu langsung disahut dengan letupan senjata dan semprotan gas air mata, yang diiringi bunyi berondongan peluru dar, der, dor� Seketika suasana riuh, hingar-bingar tak karuan, massa berlarian, berjatuhan, pelbagai jerit; tolong�, ampun� terdengar di sekeliling. Saya termasuk orang yang lari terbirit-birit begitu mendengar rentetan bunyi senjata api, dan saat berlari sambil sesekali tiarap saya lihat puluhan orang terkapar berlumuran darah. Betul-betul mengerikan, peluru-peluru berdesingan, bersahutan dengan jerit rintihan manusia. Saya terus berlari, memanjat pagar kampus Atma Jaya, berlindung didalam suatu ruangan bersama puluhan orang yang sudah dalam keadaan pasrah, mengeluh-ngeluh karena kehausan dan mata perih akibat gas air mata. Diluar terdengar berondongan peluru terus-menerus berbunyi bahkan ruangan tempat saya berlindung juga berkali-kali ditembaki. Sekitar satu jam saya disitu, lalu keluar, melempari aparat keamanan dengan batu dan lagi asyik-asyiknya melempar batu, tidak jauh dari tempat saya berdiri (disela 2-3 orang), seseorang yang sebelumnya saya lihat berdiri tegak mendadak jatuh. Saya terkejut, saya lihat ditubuhnya bagian atas telah berlumuran darah. Sialan pikir saya, saya duga ini pasti ulah sniper karena pelurunya tak berdesing sama sekali.         Setelah orang itu digotong saya kembali ke dalam ruangan, disana masih ada 5-10 orang diantaranya seorang suka-relawati (50 an tahun), wartawati TEMPO dan mantan aktifis '77 (lelaki). Akhirnya setelah berbincang-bincang diusulkan solusi terhadap situasi agar menghubungi orang yang berkaliber sebagai tokoh nasional, lantas tokoh itu diharapkan dapat mengontak Jend. Wiranto dengan maksud supaya militer berhenti menembaki para demonstran. Dengan segera wartawati TEMPO menelpon Goenawan Mohammad, saya dengar ia dan aktivis '77 berhasil berbicara dengannya. Saya pun menelpon seseorang tetapi ketika ditelpon, yang menerima istrinya, dan kebetulan karena saya lebih kenal dengan istrinya maka saya katakan situasi yang terjadi saat itu beserta permintaan tolong saya. Dan untuk menguatkan informasi yang saya berikan, saya minta mantan aktivis '77 berbicara juga dengannya. Setelah situasi mereda, saya keluar ruangan, mencari seorang teman yang bersama saya sejak siang tadi, saya sangat khawatir karena ia bersama 5-10 mahasiswa lain menjadi semacam leader di barisan mahasiswa, dan terakhir berkomunikasi ketika kami saling bertukar informasi mengenai posisi demonstran yang didepan (massa masyarakat), jarak dengan barikade aparat keamanan, koordinasi rentang kerapatan antara massa mahasiswa dengan masyarakat �karena sebelumnya cukup renggang atau berjarak belasan meter. Saya cari dia hingga tengah malam tetap tidak ketemu, lalu langsung pulang dengan sandal kanan-kiri belang-belang yang saya temukan sewaktu mencari sepatu saya yang hilang (terlepas) saat lari ketakutan dari berondongan peluru. ***         Sabtu Pagi, 14 Nopember 1998         Sekitar pukul 08.00 wib kembali ke jl. Sudirman. Ternyata di sana massa masih banyak, ribuan jumlahnya dan sangat beringas. Massa memeriksa setiap kendaraan yang lewat (termasuk bis kota) untuk mencari anggota Kepolisian ataupun militer Angkatan Darat. Kerumunan massa hanya dijaga Marinir, dengan penjagaan cukup simpatik dan berkali-kali dielu-elukan massa. Saat kemarahan massa lagi memuncak, terdengar letupan senjata di seputar taman (dekat pom bensin). Sontak saya lari kesana sambil menyiapkan kamera namun terlambat, orang yang tertembak sudah dibawa kedalam mobil. Kemudian ketika mobil pengangkut korban yang ditembak melintas dengan pintu setengah tertutup sehingga kaki korban yang bercelana loreng terlihat, saya tanya ke beberapa orang; "siapa yang tertembak?" "Yang tertembak adalah seorang Marinir dengan luka di paha, dan seorang mahasiswa dengan luka di tangan. Penembak muncul dari taman, berpakaian sipil, setelah menembak langsung dikejar massa tapi ia lari ke Komdak.         Tak lama kemudian, satu truk marinir yang sebelumnya parkir di depan-sisi kanan Atma Jaya pindah ke dalam kampus Atma Jaya �entah apa maksudnya sampai sekarang saya tidak mengerti. Dari arah jembatan Semangi (di turunan dan hendak ke jl. Sudirman) sebuah mobil sedan berwarna coklat tua diteriaki massa dengan pelbagai hujatan yang diikuti sebagian massa langsung mengerubungi mobil itu. Begitu saya kesana, dari kejauhan nampak seorang bapak-bapak sedang dikeroyok, sedangkan mobilnya yang berada tidak jauh dari tempat saya berdiri sedang dihancurkan, dan disisi kiri (atas rerumputan, pertengahan diantara keduanya) ada juga kerumunan massa dalam keramaian. Mula-mula saya berada di lingkar luarnya tapi karena saya lihat diantara mereka ada yang saling ngotot-ngototan, lalu saya mendekat dan terlihat genggam tangan beberapa orang sedang bergumulan dengan kumpulan uang lima puluhan ribu. Tak lama saya disitu lantas berjalan menuju ke depan Atma Jaya, sesekali berhenti menanyakan kepastian orang yang digebuki. Ada yang mengatakan, "ya, ia polisi, anggota Ditlantas. Identitasnya sudah diperiksa, dan dimobilnya juga ada berkas-berkas kepolisian." Kerusuhan terjadi lagi, di depan Atma Jaya sebuah kendaraan dikerubungi dan di caci-maki. Namun yang ini pengemudinya tidak babak-belur karena sempat dilindungi para mahasiswa yang berjas almameter.         Sejak ditembaknya seorang marinir, kebringasan massa kian menjadi brutal, berulangkali terdengar teriakan menyerbu Komdak dan mengajak marinir memimpin penyerbuan, yang dijawab beberapa marinir agar massa tetap tenang. Kira-kira pukul 11.00 wib saya tinggalkan jl. Sudirman, pulang (arah Pancoran) melalui Komdak atau jl. Gatot Subroto dan didepan Komdak nampak berderet-deret truk militer dengan dijaga rangkaian baris aparat keamanan yang berdiri siaga dibalik pagar. Seketika saya ingat kerumunan massa beringas yang ada di jl. Sudirman, saya bayangkan, "alangkah mengerikan akibatnya jika tadi jadi menyerbu Komdak". ***         Penutup         Ketika saya sedang berada diruangan tempat berlindung (kampus Atma Jaya), sempat mencuat perbincangan bahwa penyebab pembantaian karena ulah seseorang yang melempar batu ke arah barikade aparat keamanan. Memang setelah pelemparan batu langsung terdengar rentetan bunyi senjata api. Saya tahu itu karena kebetulan saja posisi saya berdiri tak jauh (sebelah kiri, berjarak 5-10 meter, dalam tarikan garis melengkung sekitar 30�), berada di himpunan masyarakat yang tanpa mengenakan Jas almameter. Di barisan terdepan yang terdiri dari 10-20 saf kebanyakan tanpa jas almameter, memenuhi seluruh ruas jalan jl. Sudirman, dan persis rapat dibelakangnya (saat pelemparan batu) berdiri barisan mahasiswa hingga jl. Casablanca. Saya pikir peristiwa pelemparan batu jika dipandang sebagai pemicu hanyalah bersifat kebetulan belaka, karena sesungguhnya itikad menindas dengan kekerasan ke para demonstran sudah ada sejak semula didalam skenario elit militer. Dugaan ini dikuatkan adanya fakta pematian lampu-lampu (alat penerang) di sekitar lokasi demonstrasi.         Kasus pemadaman lampu bukan kali ini saja terjadi, dalam pengalaman saya berdemonstrasi (sejak 1990, sudah puluhan kali) juga pernah terjadi. Sebelumnya, sewaktu demonstrasi di jl. Gejayan (Yogyakarta) � dimulai di kampus Sanata Dharma dan berakibat matinya Mozes Gatutkaca� menjelang Presiden Soeharto lengser atau sebelum Tragedi Trisakti, lingkungan di sekitar jl. Gejayan juga gelap gulita, sedangkan tak jauh dari lokasi demonstrasi atau di pertigaan jl. Colombo terang benderang. Pada waktu itu para demonstran mendapat dukungan langsung dari masyarakat luas dan sifat gerakan menjadi gerakan rakyat, dibantai habis-habisan dengan pentungan dan injakan sepatu lars aparat keamanan. Bahkan pendukung gerakan ada yang diburu sampai di gang-gang pemukiman padat, digebuki di halaman rumah.         Demikian pula waktu peristiwa diserbunya IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta) menjelang tengah malam oleh aparat keamanan. Peristiwa diawali insiden kecil antara peserta kampanye Golkar yang mengendarai sebuah mobil bak terbuka dan beberapa motor (dalam PEMILU lalu) dalam perjalanan pulang sehabis kampanye (sekitar 17.00 wib) meminta beberapa gelintir mahasiswa yang sedang berdiri di depan gerbang kampus IAIN agar menunjukkan dua jari, namun tidak ditanggapi oleh mahasiswa bersangkutan. Peristiwa itu juga mencekam, masyarakat yang ramai berkerumun sejak pukul 19.00 wib makin malam bertambah banyak, dan tiba-tiba dipukuli, dikejar sampai ke gang-gang oleh aparat keamanan termasuk siapa saja yang tidak tahu apa-apa atau baru pulang dari berpergian dan hendak pulang ke rumah tetapi di jalan kebetulan bertemu aparat keamanan, juga dipukuli. Sekitar pukul 02.00 wib, dua truk militer berukuran besar yang diparkir di depan super market Gelalel, dijadikan bak penampungan orang-orang yang terkapar (entah luka atau pingsan) dengan dimasukkan secara kasar. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar